KEUTAMAAN
ILMU SYAR’I DAN MEMPELAJARINYA-3/3-
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah Ta’ala
telah memuji ilmu dan pemiliknya serta mendorong hamba-hamba-Nya untuk berilmu
dan membekali diri dengannya. Demikian pula Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang suci.
Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari
seratus keutamaan ilmu syar’i. Di buku ini penulis hanya sebutkan sebagian
kecil darinya. Di antaranya:
[12].
Menuntut Ilmu Adalah Jihad Di Jalan Allah Dan Orang Yang Menuntut Ilmu Laksana
Mujahid Di Jalan Allah Ta’ala
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Barangsiapa
yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan mempelajari
kebaikan atau mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan
Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, maka
ia laksana orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [1]
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat
tingkatan:
Pertama:
berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar
(amal shalih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat kecuali dengannya.
Kedua:
berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
Ketiga:
berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Keempat:
berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala dan sabar terhadap
gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata
karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [2]
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani. [2]
Abu Darda
radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi mencari
ilmu tidak termasuk jihad, sungguh, ia kurang akalnya.” [3]
Berjihad
dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan
tombak. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar
berjihad dengan Al-Qur-an melawan orang-orang kafir.
“Maka
janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al-Qur-an dengan jihad yang besar.” [Al-Furqaan: 52]
Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir
dan munafik dengan cara menyampaikan hujjah (dalil dan keterangan).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [4]
[13]. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Jihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan didahulukan atas jihad dengan pedang dan tombak.” [4]
[13]. Pahala Ilmu Yang Diajarkan Akan Tetap Mengalir Meskipun Pemiliknya Telah Meninggal Dunia
Disebutkan dalam Shahiih Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Jika
seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya terputus, kecuali tiga
hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akannya.” [5]
Hadits ini
adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu serta besarnya buah
dari ilmu. Sesungguhnya pahala ilmu tetap diterima oleh orang yang bersangkutan
selama ilmunya diamalkan orang lain. Seolah-olah ia tetap hidup dan amalnya
tidak terputus. Ini disamping kenangan dan sanjungan yang dialamatkan
kepadanya. Tetap mengalirnya pahala untuk dirinya pada saat pahala amal
perbuatan telah terputus dari manusia adalah kehidupan kedua baginya.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mengkhususkan ketiga hal di atas yang
pahalanya tetap diterima oleh si mayit karena ia (si mayit) adalah penyebab
keberadaan ketiga hal tersebut. Karena ia menjadi sebab terbentuknya anak
shalih, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat, maka pahalanya tetap
mengalir kepadanya. Seorang hamba mendapatkan pahala karena tindakannya
langsung atau tindakan yang dilahirkan (tindakan tidak langsung) darinya. Kedua
prinsip ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Yang
demikian itu ialah karena mereka (para Mujahidin) tidak ditimpa kehausan,
kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu
tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu
bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka sebagai
suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang berbuat baik.” [At-Taubah: 120]
Kesemua hal
di atas lahir dari tindakan mereka dan tidak ditakdirkan bagi mereka. Yang
ditakdirkan bagi mereka ialah sebab-sebabnya yang mereka lakukan secara
langsung. Maksudnya, bahwa haus, payah, lapar, dan membangkitkan amarah musuh
bukanlah karena (sengaja) mereka lakukan demikian, lalu ditulis jadi amal
shalih. Akan tetapi, hal ini timbul dari perbuatan mereka (yaitu jihad fi
sabilillaah) karena itu ditulis bagi mereka sebagai amal shalih. [6]
[14]. Dengan
Menuntut Ilmu, Kita Akan Berfikir Yang Baik, Benar, Mendapatkan Pemahaman Yang
Benar, Dan Dapat Mentadabburi Ayat-Ayat Allah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [7]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullaah mengatakan, “Memikirkan nikmat-nikmat Allah termasuk ibadah yang paling utama.” [7]
Tidak ada
sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al-Qur-an dengan
tadabbur dan tafakkur. Karena hal itu mengumpulkan semua kedudukan orang yang
berjalan kepada Allah, keadaan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan
kedudukan orang-orang yang bijaksana. Hal inilah yang mewariskan rasa cinta,
rindu, takut, harap, kembali kepada Allah, tawakkal, ridha, penyerahan diri,
syukur, sabar dan segala keadaan yang dengannya hati menjadi hidup dan
sempurna.
Seandainya
manusia mengetahui apa yang terdapat dalam membaca Al-Qur-an dengan tadabbur,
maka ia akan lebih menyibukkan diri dengannya daripada selainnya. Apabila ia
melewati ayat yang dibutuhkannya untuk mengobati hatinya, maka ia akan
mengulang-ulangnya meskipun sampai seratus kali, walaupun ia menghabiskan satu
malam. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkan dan memahaminya lebih baik daripada
membacanya sampai khatam tanpa mentadabburi dan memahaminya, lebih bermanfaat
bagi hati dan lebih membantu untuk memperoleh keimanan dan merasakan manisnya
Al-Qur-an. Membaca Al-Qur-an dengan memikirkannya adalah pokok kebaikan hati.
[8]
Al-Hasan
al-Bashri rahimahullaah mengatakan, “Al-Qur-an diturunkan untuk diamalkan, maka
jadikanlah membacanya sebagai salah satu pengamalannya.” [9]
[15]. Ilmu
Lebih Baik Daripada Harta
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.
Keutamaan ilmu atas harta dapat diketahui dari beberapa segi:
Pertama: Ilmu adalah warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan para raja dan orang-orang kaya.
Kedua: Ilmu
akan menjaga pemiliknya, sedangkan pemilik harta menjaga hartanya.
Ketiga: Ilmu
adalah penguasa atas harta, sedangkan harta tidak berkuasa atas ilmu.
Keempat:
Harta akan habis dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu akan bertambah jika
diajarkan.
Kelima:
Apabila meninggal dunia, pemilik harta akan berpisah dengan hartanya, sedangkan
ilmu akan masuk bersamanya ke dalam kubur.
Keenam:
Harta dapat diperoleh orang-orang mukmin maupun kafir, orang baik maupun orang
jahat. Sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya dapat diperoleh orang-orang yang
beriman.
Ketujuh:
Orang yang berilmu dibutuhkan oleh para raja dan selain mereka, sedangkan
pemilik harta hanya dibutuhkan oleh orang-orang miskin.
Kedelapan:
Jiwa akan mulia dan bersih dengan mengumpulkan ilmu dan berusaha memperolehnya
-hal itu termasuk kesempurnaan dan kemuliaannya- sedangkan harta tidak
membersihkannya, tidak menyempurnakannya bahkan tidak menambah sifat kemuliaan.
Kesembilan:
Harta itu mengajak jiwa kepada bertindak sewenang-wenang dan sombong, sedangkan
ilmu mengajaknya untuk rendah hati dan melaksanakan ibadah.
Kesepuluh:
Ilmu membawa dan menarik jiwa kepada kebahagiaan yang Allah ciptakan untuknya,
sedangkan harta adalah penghalang antara jiwa dengan kebahagiaan tersebut.
Kesebelas:
Kekayaan ilmu lebih mulia daripada kekayaan harta karena kekayaan harta berada
di luar hakikat manusia, seandainya harta itu musnah dalam satu malam saja,
jadilah ia orang yang miskin, sedangkan kekayaan ilmu tidak dikhawatirkan
kefakirannya, bahkan ia akan terus bertambah selamanya, pada hakikatnya ia
adalah kekayaan yang paling tinggi.
Kedua belas:
Mencintai ilmu dan mencarinya adalah pokok segala ketaatan, sedangkan cinta dunia
dan harta dan mencarinya adalah pokok segala kesalahan.
Ketiga
belas: Nilai orang kaya ada pada hartanya dan nilai orang yang berilmu ada pada
ilmunya. Apabila hartanya lenyap, lenyaplah nilainya dan tidak tersisa tanpa
nilai, sedangkan orang yang berilmu nilai dirinya tetap langgeng, bahkan
nilainya akan terus bertambah.
Keempat
belas: Tidaklah satu orang melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, melainkan
dengan ilmu, sedangkan sebagian besar manusia berbuat maksiat kepada Allah
lantaran harta mereka.
Kelima
belas: Orang yang kaya harta selalu ditemani dengan ketakutan dan kesedihan, ia
sedih sebelum mendapatkannya dan merasa takut setelah memperoleh harta, setiap
kali hartanya bertambah banyak, bertambah kuat pula rasa takutnya. Sedangkan
orang yang kaya ilmu selalu ditemani rasa aman, kebahagiaan, dan kegembiraan.
Wallaahu a’lam. [10]
Wallaahu a’lam. [10]
[Disalin
dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor
16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[4]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[6]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[8]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[9]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[10]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).
___________
Foote Notes
[1]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 87-at-Ta’liiqaatul Hisaan), Ibnu Majah (no. 227), Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Abi Syaibah (no. 33061), dan al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10). Lihat Syarah Tsa-latsatil Ushuul (hal. 25-26), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145).
[4]. Syarah Qashidah Nuuniyyah (I/12) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i (VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376), Ahmad (II/372), al-Baihaqi (VI/ 278), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[6]. Lihat al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242-243).
[7]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 254).
[8]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 262).
[9]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 263).
[10]. Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 160-163).
0 komentar:
Posting Komentar